Hukum Rajam: Mengenal Lebih Dekat, Fakta, Kontroversi & Perspektif Hukum

Table of Contents

jelaskan apa itu hukum rajam

Rajam, mungkin kata ini terdengar cukup asing bagi sebagian orang, tapi seringkali muncul dalam berita atau diskusi terkait hukum Islam. Secara sederhana, hukum rajam adalah hukuman mati yang dilakukan dengan cara melempari batu sampai orang yang dihukum meninggal. Hukuman ini, dalam konteks agama Islam, dikenakan bagi pelaku zina muhshan atau muhsona. Bingung? Tenang, kita bahas pelan-pelan!

Definisi Rajam Lebih Dalam

Kalau kita lihat dari bahasa Arab, kata “rajam” (رجم) sendiri punya arti melempar atau melontar. Dalam konteks hukum Islam, rajam menjadi hukuman spesifik untuk zina yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah (muhshan untuk laki-laki dan muhsona untuk perempuan). Penting untuk digarisbawahi, rajam ini bukan hukuman untuk semua jenis zina. Ada perbedaan besar antara zina yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah dengan yang belum.

Zina muhshan ini dianggap sebagai pelanggaran yang lebih berat karena beberapa alasan. Pertama, orang yang sudah menikah seharusnya lebih paham tentang tanggung jawab pernikahan dan menjaga kesucian hubungan. Kedua, perzinahan oleh orang yang sudah menikah bisa merusak tatanan keluarga dan masyarakat secara lebih luas. Makanya, hukuman untuk zina muhshan dalam beberapa interpretasi hukum Islam menjadi lebih berat dibandingkan zina ghairu muhshan (zina yang dilakukan oleh orang yang belum menikah).

Dasar Hukum Rajam dalam Islam

Nah, bagian ini yang sering jadi perdebatan. Sebenarnya, kalau kita cari ayat Al-Quran yang secara eksplisit menyebutkan hukuman rajam, kita nggak akan ketemu. Al-Quran memang mengatur hukuman untuk zina, tapi hukumannya adalah cambuk sebanyak seratus kali dan diasingkan selama setahun untuk pelaku zina ghairu muhshan (QS. An-Nur [24]: 2). Lalu, dari mana datangnya hukum rajam ini?

Dalil dari Hadis

Mayoritas ulama yang mendukung hukum rajam mendasarkan argumen mereka pada hadis atau perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Ada beberapa hadis sahih yang menceritakan tentang Rasulullah SAW pernah merajam pelaku zina muhshan. Salah satu hadis yang sering dikutip adalah hadis tentang Ma’iz bin Malik dan perempuan Ghamidiyah yang mengaku berzina dan dirajam atas perintah Rasulullah SAW.

Hadis-hadis ini dianggap sebagai penjelasan lebih lanjut dari Al-Quran. Para ulama berpendapat bahwa meskipun Al-Quran tidak menyebutkan rajam secara eksplisit, hadis memberikan petunjuk bahwa hukuman rajam itu ada dan berlaku untuk kasus zina muhshan. Mereka juga berargumen bahwa Rasulullah SAW sebagai utusan Allah adalah mubayyin atau penjelas dari Al-Quran. Jadi, apa yang Rasulullah SAW lakukan dan tetapkan, termasuk hukum rajam, dianggap sebagai bagian dari syariat Islam.

Ijma Ulama

Selain hadis, para ulama juga menggunakan ijma atau kesepakatan ulama sebagai dasar hukum rajam. Ijma ini merujuk pada kesepakatan para ulama dari berbagai generasi tentang suatu hukum. Para ulama klasik dan mayoritas ulama dari berbagai mazhab sepakat bahwa hukuman rajam berlaku untuk zina muhshan. Kesepakatan ini dianggap sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam setelah Al-Quran dan hadis.

Meskipun begitu, penting untuk diingat bahwa tidak semua ulama sepakat dengan hukum rajam. Ada sebagian kecil ulama yang menolak hukum rajam dan berpendapat bahwa hukuman untuk semua jenis zina dalam Islam adalah cambuk dan pengasingan seperti yang disebutkan dalam Al-Quran. Perbedaan pendapat ini akan kita bahas lebih lanjut nanti.

Bagaimana Proses Pelaksanaan Hukum Rajam?

Pelaksanaan hukum rajam ini nggak sembarangan. Ada prosedur dan syarat yang ketat yang harus dipenuhi sebelum seseorang bisa dijatuhi hukuman rajam. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa hukuman ini benar-benar diterapkan dengan adil dan hanya kepada orang yang memang terbukti bersalah melakukan zina muhshan.

Syarat Pelaku Rajam

Seperti yang sudah disebutkan, pelaku rajam haruslah orang yang sudah menikah atau pernah menikah (muhshan/muhsona). Status pernikahan ini menjadi syarat utama. Kalau pelaku zina belum pernah menikah, hukumannya bukan rajam, melainkan cambuk dan pengasingan.

Selain itu, pelaku juga harus baligh (dewasa), berakal sehat, dan melakukan zina dengan kehendak bebas tanpa paksaan. Jika zina dilakukan karena paksaan atau pelaku tidak dalam kondisi berakal sehat, hukuman rajam tidak bisa diterapkan.

Syarat Saksi

Pembuktian zina muhshan juga nggak gampang. Dalam hukum Islam, untuk membuktikan zina, dibutuhkan empat orang saksi laki-laki adil yang melihat langsung perbuatan zina tersebut secara detail. Saksi ini harus benar-benar melihat alat kelamin pelaku zina saat melakukan hubungan badan. Syarat kesaksian ini sangat berat dan sulit dipenuhi dalam praktiknya.

Alternatif lain untuk pembuktian zina adalah pengakuan dari pelaku itu sendiri. Namun, pengakuan ini juga harus diucapkan secara jelas dan tanpa paksaan di hadapan hakim. Bahkan, dalam beberapa riwayat, Rasulullah SAW beberapa kali meminta orang yang mengaku berzina untuk menarik pengakuannya, mungkin dengan harapan mereka bertaubat dan menghindari hukuman rajam.

Tata Cara Pelaksanaan Rajam

Kalau semua syarat pembuktian sudah terpenuhi dan hakim memutuskan hukuman rajam, maka pelaksanaan rajam dilakukan di tempat terbuka. Pelaku biasanya dikubur sampai batas dada (untuk laki-laki) atau batas leher (untuk perempuan). Kemudian, orang-orang yang hadir (biasanya kaum Muslimin) melempari pelaku dengan batu berukuran sedang sampai meninggal.

Ukuran batu yang digunakan nggak boleh terlalu besar sampai bisa membunuh dengan cepat, tapi juga nggak boleh terlalu kecil seperti kerikil. Tujuannya adalah agar proses kematiannya terasa menyakitkan dan menjadi pelajaran bagi orang lain. Proses rajam ini memang terlihat sangat brutal dan mengerikan, dan inilah yang sering menjadi sorotan dan kritik dari berbagai pihak.

Kontroversi dan Perbedaan Pendapat Seputar Hukum Rajam

Hukum rajam adalah salah satu topik yang paling kontroversial dalam hukum Islam. Banyak perdebatan dan perbedaan pendapat di kalangan ulama maupun masyarakat umum terkait hukum ini. Kontroversi ini muncul dari berbagai aspek, mulai dari dasar hukumnya, proses pelaksanaannya, hingga dampaknya terhadap hak asasi manusia.

Perbedaan Pendapat Ulama

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, tidak semua ulama sepakat dengan hukum rajam. Sebagian ulama, terutama dari kalangan modernis, menolak hukum rajam dan berpendapat bahwa hukuman zina dalam Islam hanya cambuk dan pengasingan seperti yang disebutkan dalam Al-Quran. Mereka meragukan kekuatan dalil hadis tentang rajam atau menafsirkannya secara berbeda.

Beberapa argumen yang sering diajukan oleh ulama yang menolak rajam antara lain:

  • Tidak ada ayat Al-Quran yang eksplisit tentang rajam. Mereka berpendapat bahwa hukum yang sangat berat seperti rajam seharusnya disebutkan secara jelas dalam Al-Quran, bukan hanya berdasarkan hadis.
  • Hadis tentang rajam dianggap khabar ahad (hadis yang diriwayatkan oleh sedikit perawi) dan tidak cukup kuat untuk menetapkan hukum yang seberat rajam. Mereka lebih mengutamakan ayat Al-Quran yang mutawatir (diriwayatkan oleh banyak perawi dan dianggap pasti kebenarannya).
  • Hukum rajam dianggap bertentangan dengan prinsip rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam) yang menjadi misi utama Islam. Mereka berpendapat bahwa hukuman yang lebih ringan seperti cambuk lebih sesuai dengan prinsip kasih sayang dan keadilan dalam Islam.
  • Kisah tentang penghapusan ayat rajam (nasakh) dalam Al-Quran. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa dulu ada ayat Al-Quran tentang rajam, tapi kemudian dihapus bacaannya dan hukumnya tetap berlaku. Namun, riwayat ini juga diperdebatkan keabsahannya.

Kritik dari Perspektif HAM

Selain perbedaan pendapat di kalangan ulama, hukum rajam juga mendapat kritik keras dari perspektif hak asasi manusia (HAM). Banyak organisasi HAM internasional dan negara-negara Barat yang menganggap rajam sebagai hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan melanggar HAM.

Beberapa poin kritik dari perspektif HAM terhadap hukum rajam:

  • Melanggar hak untuk hidup. Hukuman mati dalam bentuk apapun dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak paling mendasar, yaitu hak untuk hidup.
  • Tidak sesuai dengan prinsip kemanusiaan. Cara pelaksanaan rajam yang brutal dan menyakitkan dianggap tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.
  • Tidak proporsional dengan kesalahan yang dilakukan. Banyak yang beranggapan bahwa hukuman rajam terlalu berat untuk kejahatan zina, apalagi jika dilakukan atas dasar suka sama suka tanpa ada pihak yang dirugikan secara materi.
  • Potensi penyalahgunaan. Kritikus khawatir hukum rajam bisa disalahgunakan untuk menindas kelompok minoritas atau orang-orang yang dianggap tidak sesuai dengan norma agama yang berlaku.

Argumen yang Mendukung dan Menentang Rajam

Untuk lebih jelasnya, berikut tabel yang merangkum argumen yang mendukung dan menentang hukum rajam:

Argumen yang Mendukung Hukum Rajam Argumen yang Menentang Hukum Rajam
Berdasarkan hadis sahih dan ijma ulama Tidak ada ayat Al-Quran yang eksplisit tentang rajam
Hadis adalah penjelas (mubayyin) dari Al-Quran Hadis tentang rajam dianggap khabar ahad
Hukuman yang berat untuk kejahatan zina muhshan yang dianggap serius Bertentangan dengan prinsip rahmatan lil alamin
Efek jera yang kuat untuk mencegah perzinahan Melanggar HAM dan prinsip kemanusiaan
Menjaga kesucian nasab dan tatanan keluarga Hukuman tidak proporsional dengan kesalahan zina
Bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya Potensi penyalahgunaan hukum
Diterapkan sejak zaman Rasulullah SAW dan para sahabat Ada riwayat tentang penghapusan ayat rajam (nasakh)

Hikmah di Balik Hukum Rajam

Meskipun kontroversial, para ulama yang mendukung hukum rajam juga menjelaskan hikmah atau tujuan di balik hukuman ini. Mereka berpendapat bahwa hukum rajam memiliki beberapa hikmah yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat.

Efek Jera

Salah satu hikmah utama hukum rajam adalah efek jera atau deterrent effect. Hukuman yang berat dan mengerikan seperti rajam diharapkan bisa membuat orang berpikir dua kali sebelum melakukan zina muhshan. Dengan adanya ancaman hukuman rajam, diharapkan masyarakat akan lebih takut untuk berzina dan menjaga diri dari perbuatan haram tersebut.

Menjaga Kesucian Nasab

Hukum rajam juga dianggap memiliki hikmah untuk menjaga kesucian nasab atau keturunan. Perzinahan, terutama yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah, bisa menyebabkan kerancuan nasab dan merusak tatanan keluarga. Dengan adanya hukuman rajam, diharapkan masyarakat akan lebih menjaga kesucian pernikahan dan menghindari perbuatan zina yang bisa mengacaukan nasab.

Bentuk Ketaatan kepada Allah

Bagi sebagian orang, hukum rajam dilihat sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Meskipun mungkin terasa berat dan sulit diterima akal, mereka meyakini bahwa hukum rajam adalah bagian dari syariat Islam yang harus diterima dan dilaksanakan sebagai wujud kepatuhan kepada perintah Allah. Mereka percaya bahwa Allah lebih mengetahui hikmah di balik hukum-hukum-Nya, meskipun mungkin tidak selalu bisa dipahami oleh manusia.

Fakta Menarik Seputar Hukum Rajam

Ada beberapa fakta menarik terkait hukum rajam yang mungkin belum banyak diketahui orang:

Rajam dalam Agama Lain

Ternyata, hukuman rajam bukan hanya ada dalam Islam. Dalam agama Yahudi, khususnya dalam Hukum Taurat, juga terdapat hukuman rajam untuk beberapa pelanggaran, termasuk zina, penghujatan agama, dan pelanggaran hari Sabat. Dalam Perjanjian Lama (Kitab Taurat), ada beberapa kisah tentang pelaksanaan rajam. Meskipun praktik rajam sudah jarang diterapkan dalam Yudaisme modern, hukum rajam masih tercantum dalam kitab suci mereka.

Penerapan Rajam di Dunia Modern

Di dunia modern, penerapan hukum rajam sangat terbatas. Sebagian besar negara Muslim tidak menerapkan hukum rajam dalam sistem hukum mereka. Hanya beberapa negara yang masih secara aktif menerapkan hukum rajam, seperti Iran, Arab Saudi, dan beberapa wilayah di Nigeria dan Somalia yang menerapkan hukum Islam secara ketat. Namun, bahkan di negara-negara ini, penerapan hukum rajam juga seringkali menuai kontroversi dan kritik.

Penting untuk dicatat bahwa penerapan hukum rajam di negara-negara tersebut juga tidak selalu sesuai dengan prosedur dan syarat yang ketat dalam hukum Islam klasik. Kadang-kadang, hukuman rajam diterapkan secara sewenang-wenang tanpa proses peradilan yang adil atau bukti yang kuat. Hal ini semakin menambah kontroversi dan kritik terhadap hukum rajam di dunia modern.

Kesimpulan

Hukum rajam adalah hukuman mati dengan cara dilempari batu yang dikenakan bagi pelaku zina muhshan dalam beberapa interpretasi hukum Islam. Dasar hukumnya berasal dari hadis dan ijma ulama, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Quran. Pelaksanaan rajam memiliki prosedur dan syarat yang ketat, termasuk syarat pelaku dan saksi.

Hukum rajam adalah topik yang sangat kontroversial dan diperdebatkan. Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang keabsahan dan penerapan hukum rajam. Dari perspektif HAM, hukum rajam dianggap sebagai hukuman yang kejam dan tidak manusiawi. Meskipun demikian, para pendukung hukum rajam berargumen tentang hikmah di balik hukuman ini, seperti efek jera, menjaga kesucian nasab, dan ketaatan kepada Allah.

Penerapan hukum rajam di dunia modern sangat terbatas dan seringkali menuai kritik. Penting untuk memahami berbagai perspektif dan argumen terkait hukum rajam secara komprehensif dan bijak.

Yuk Diskusi!

Bagaimana pendapatmu tentang hukum rajam setelah membaca artikel ini? Apakah kamu setuju atau tidak setuju dengan hukuman ini? Yuk, sampaikan pendapatmu di kolom komentar di bawah! Kita bisa berdiskusi dengan sopan dan saling menghargai perbedaan pandangan.

Posting Komentar